.
Home » , » Sugiharto Wiharjo Sabar Saja Tidak Cukup

Sugiharto Wiharjo Sabar Saja Tidak Cukup

Written By ADMIN on Jumat, 30 Maret 2012 | 11.19

Alay
Sugiharto Wiharjo alias Alay sempat memiliki kerajaan bisnis di Lampung. Tak heran elit pemerintahan dan politik bahkan aparat berada di lingkarannya. Namun Alay ’’ditinggal’’ tanpa bekas sejak menghuni Lembaga Pemasyarakatan Rajabasa pada 2008. Seperti apa kondisinya saat ini?    

SIANG itu, pukul 10.05, kami mengunjungi Alay di Lapas Rajabasa. Alay tampak sumringah. Ada kecerian dibalik kerutan wajahnya. Tampak rambutnya kian memutih. Dan seperti biasa, lelaki kelahiran Malang, 19 Desember 1953 silam itu tetap mengenakan celana pendek kebanggaannya. Dipadukan dengan kaos biru yang sudah bolong.
    
’’Inilah saya sekarang,’’ ucap Alay membuka pembicaraan dengan koleganya, Nuril Hakim Yohansyah, mantan Ketua Asosiasi Eksporti Kopi Indonesia (AEKI) Lampung. Lalu, Dewan Pengawas Radar Lampung yang juga Direktur Lampung NewsPaper Taswin Hasbullah, Pemred Lampung NewsPaper Senen, Redaktur Foto Syahroni Yusuf, dan saya sendiri.
    
Alay bak menegaskan kondisinya yang jauh terbalik dari kondisinya dulu. Saat kerajaan bisnisnya jaya, ia memiliki karyawan mencapai 5.000 orang dengan rata-rata pengeluaran gaji Rp3 miliar setiap bulan. Kala itu, perusahaannya berkembang, dari penampung hasil bumi seperti kopi, lada dan kakao, merambah ke air mineral hingga mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tripanca Setiadana. Tak heran mulai jenderal, birokrat, elit politik, hingga buruh sekalipun dekat dengannya. Dan kini ia ditinggal. ’’Semuanya…?’’ ucap Alay sambil mengepakkan kedua tanggannya.
    
Alay menyatakan, dirinya merintis bisnis juga dari ketiadaan siapa-siapa. Jika kemudian dia ditinggal bukanlah masalah besar. ’’Saya dulunya merintis dari bawah. Jadi yang seperti ini (di penjara) tidak pingsan saja sudah baik. Banyak orang yang langsung mati,’’ lanjut Alay sembari tangan kanannya mengusap kepala, dari depan terus ke belakang.
    
Dia juga membantah jika ada menyatakan bahwa dirinya telah mendapatkan perlakukan istimewa di Lapas Rajabasa. ’’Tidak benar. Ini sama sekali menyakitkan. Setiap minggu saya dibawa dengan mobil menuju ke pengalilan. Bunyi serine mobil kejaksaan sangat menyiksa. Di sini pun (Lapas Rajabasa), saya sempat menghuni sel tikus selama delapan hari. Hanya seluas satu meter, disel itulah MCK (mandi, cuci, kakus). Siapa yang bayangkan saya bisa masuk sel tikus. Saya tetap bersyukur masih sehat,’’ sebut suami Meriana tersebut.
    
Lantas dia bercerita panjang lebar. Ia adalah anak pedagang gula. Ia tak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Namun, ia pernah duduk di bangku sekolah mandarin di Surabaya, Jawa Timur. Tahun 1970, Alay pindah ke Lampung. Saat itu usianya baru 17 tahun. Ia langsung bekerja di PT Darmala, perusahaan penampung hasil bumi milik saudaranya.
    
Meski memiliki hubungan kekeluargaan, Alay tidak serta merta menduduki posisi ’’empuk’’ di PT Darmala. Ia harus merintis sebagai staf biasa. Ia mencatat arus keluar masuk penjualan kopi. Setelah sembilan tahun bekerja, baru ia menjadi kepala gudang.  Namun, kala itu Alay berada pada posisi dilematis. Perusahaan memiliki konflik internal. Akhirnya, Ia memilih keluar dari satu-satunya perusahaan yang menampung hasil bumi tersebut.
    
Alay mulai merintis kerajaan bisnisnya (kemudian bernama PT Tripanca Group) dari nol modal. Bekalnya hanya hubungan baik selama menjadi kepala gudang di PT Darmala. Ia pun rela hilir mudik ke Talangpadang, Kotaagung. Ia menemui langsung para petani kopi di dua daerah tersebut. Juga memikul langsung karung-karung berisi kopi ke armada angkutannya. Keuletan Alay berbuah manis. Omzet penjualannya meningkat tajam.
    
Perjalanan bisnianya juga tidak selalu berjalan mulus. Ia sempat jatuh pada tahun 1990. Saat itu, harga kopi anjlok. Penyebabnya, Indonesia sebagai produsen kopi tidak memiliki kekuatan dalam mengatur harga. ’’Justru buyer yang punya itu. Makanya saya tekan buyer,’’ ujarnya semangat.
    
Sembari mengepalkan tangan, Alay mengungkapkan upayanya  mempersempit gerak buyer. Sebagai produsen, mestinya Indonesia bisa mengangkat harga kopi, sehingga petani sejahtera. ’’Ini tidak ada di pemikiran pemerintah. Karena saya memulai sendiri berperang dengan buyer. Dan dulu di Amerika sana sebagai buyer, bukan nama Indonesia yang keluar tetapi Tripanca. Kita benar-benar memiliki power untuk menentukan harga kopi dunia,’’ ujar bapak dari Yurike (8 Mei 1984), Monique (18 Juli 1986), Marcella Wiharjo (26 Agustus 1989).
    
Ternyata, buyer tidak berhenti melakukan upaya-upaya untuk membuat harga kopi anjlok. Amerika bahkan sampai membuat perusahaan eksportir kopi di Jakarta. Karenanya, pada tahun 2008 harga kopi terjun bebas. ’’Pemerintah tidak melakukan upaya apapun. Kasihan petani. Saya coba bantu. Saya beli, sampai di gudang tertampung sebanyak 100.000 ton. Saat itu kerugian saya mencapai Rp2 triliun,’’ ungkapnya.
    
Kerugian Alay makin menjadi karena ia juga sudah menandatangani nilai kontrak pada bulan Maret. Bahwa kopi diserahkan pada Mei senilai US$ 2.752 per ton. Saat bulan Mei, ternyata harga biji kopi US$ 2.200 per ton. Awal Oktober makin terjun bebas lagi. Harga kopi ambruk di bawah US$ 2.000 per ton.
    
Berbarengan dengan itu, BPR Tripanca mengalami kesulitan likuiditas. Tripanca Group juga memiliki dan pinjaman dari lima bank, masing-masing Bank Ekspor Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Mega, dan Deutsche Bank.
    
’’Memang di dalam aturannya, tidak boleh perbankan punya bisnis seperti hasil bumi. Tetapi saya kan tidak lari. Saya pergi berobat dan pulang saat sembuh. Andai saat itu saya diberikan waktu untuk menyelesaikan, semua bisa tuntas, tapi kan tidak,’’ sebutnya. 
    
’’Saat ada demo-demo, ketika saya muncul kan tenang. Itu karena mereka yakin, saya pasti bisa menyelesaikannya. Tetapi yang terjadi kopi milik saya dijarah. Baik secara preman maupun hukum. Kalau saya menuntut bisa, tetapi tidak saya lakukan. Kalau saya bertanya, dimana aparat, dan dimana keadilan hukum, kan bisa. Tetapi biarlah,’’ ucap Alay pasrah.
    
Sembari berlinang air mata, Alay mengungkapkan saat itu dirinya hanya memikirkan nasib 5.000 karyawannya. Bagaimana nasib keluarga mereka? ’’Jika mereka berkeluarga, dikalikan tiga saja, ada 15.000 jiwa bergantung dari usaha ini,’’ ujarnya. 
    
Alay menuturkan, dirinya punya prinsip yang berbeda dari kebanyakan. Jika orang lain dalam berbuat itu pasti memilikirkan take and give, dia justru sebaliknya. ’’Give… give… give dulu baru take jika ada. Kalau pun tidak nggak mengapa. Makanya kalau semuanya (kolega) juga pergi, tidak jadi soal bagi saya. Yang saya yakini, ketika kita memberi, balasannya bukan saat ini, tetapi di sana,’’ ujar dia sembari mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya ke atas.
    
Karena itu pula, Alay masih memiliki keingingan besar berbuat untuk Lampung. Ia masih berkeinginan mengangkat kesejahteraan petani Lampung. ’’Jika masih diberikan kesempatan, tetap sehat dan bisa bebas nanti, saya akan memulai lagi. Saya akan terus memberi… give… give… give… Saya punya keyakinan akan hal itu,’’ ucapnya.
    
Sementara untuk yang sudah berbuat tidak baik kepada dirinya, Alay juga punya keyakinan kepada Yang Maha Kuasa. Tuhan pasti membalasnya. Sebagai bukti, kata Alay, orang-orang yang telah menggiringnya kepada hal-hal buruk juga mendapatkan balasan setimpal. Ia merunut, dari Polri yang mendapat perintah kapolri adalah Komjen Susno Duaji dan Brigjen Edmond Ilyas. ’’Susno dan Edmond sama dinonjobkan (kini Edmond jadi staf ahli kapolri, Red). Mereka mengaku menangkap saya, padahal tidak demikian. Saya pulang dari berobat,’’  tegas Alay.
    
Lalu, Jaksa Cyrus Sinaga ditahan karena terlibat perkara Gayus Tambunan. Haposan Hutagalung yang dipercaya Alay untuk menanggani kasusnya,  juga ditahan dalam kasus Gayus. Hakim Muhtadi Asnun juga ditahan, karena terkait suap Gayus. ’’Semua mendapatkan balasannya. Saya yakin karma itu ada,’’ pungkas dia. (*)
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lampung NewsPaper - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger