.
Home » » BBM Tak Naik, Krisis Terulang

BBM Tak Naik, Krisis Terulang

Written By ADMIN on Sabtu, 31 Maret 2012 | 12.39

Hatta Rajasa
Suka tidak suka, mau tidak mau, rencananya BBM bakal berganti harga di April 2012. Pro dan kontra pun muncul di perdebatan publik, pergulatan alot terjadi di Komisi VII DPR RI. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di balik rencana menaikkan Rp1.500,- per liter premium itu? Berikut background Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa

Mengapa BBM harus naik? Kebijakan yang tidak popular, merepotkan publik, harga-harga ikut naik? Mengapa pilihannya harus itu?

Kami menyadari, skema menaikkan harga BBM itu adalah kebijakan yang tidak populis. Tetapi risiko itu harus kita jalani dengan kreatif, agar postur ekonomi kita tetap sehat dan sustainable. Saya beri gambaran, biar tidak menimbulkan persepsi yang keliru.

Tahun 2010 ekonomi RI bertumbuh 6,1 persen, lapangan pekerjaan naik 3,3 juta, pengangguran menurun, indeks kemiskinan berhasil ditekan sampai angka 12,3 persen. Sebuah kesuksesan yang patut dibanggakan. Tetapi, pada 2010-2011 itu, sesungguhnya kami sudah melihat bayang-bayang ekonomi dunia yang melambat. AS krisis, Eropa ikut terseret di pusaran resesi. Meskipun China dan India masih positif tapi Eropa sudah menghadapi problem finansial.

2011, pertumbuhan ekonomi kita makin kokoh di 6,5 persen. Dan kita berani ekspansif dengan mematok target pertumbuhan di 2012 sebesar 6,7 persen. Tetapi, sekuat apapun, bayang-bayang melemahnya ekonomi dunia itu tetap saja mengguncang ekonomi nasional. Apalagi, struktur industri kita masih terlalu berat pada komponen impor. Terbukti, impor kita meningkat tajam, dari bahan baku dan bahan modal. Tentu, ini akan berujung pada produktivitas yang menurun, karena beban biaya industri semakin berat.

Harus diakui, struktur industri kita belum terlalu ideal. Begitu pertumbuhan menembus angka 6,5 persen sampai 6,77 persen, maka impor-nya akan meningkat. Inilah yang sedang kita restrukturisasi dengan menitikberatkan pada sumber daya alam Indonesia, dalam MP3EI.

Lalu, apa kaitannya dengan BBM naik?

November 2011, harga Indonesian Crude Prize (ICP) atau minyak kotor yang diimpor itu sebesar 103 USD per barel. Bulan Desember 2011, harga itu naik sedikit menjadi 104 USD. Di Januari 2012 melonjak tinggi, sebesar 115 USD per barel. Bulan Februari 2012 naik fantastik, 122 USD, sehingga jika di rata-rata Januari-Februari 2012 itu menembus 118 USD. Di beberapa negara, malah sudah ada yang melampaui ambang batas 140 USD?

Akibatnya, subsidi BBM juga mengalami kenaikan dan tak terkendali. Maka, sehebat apapun ekonomi kita, tidak akan mampu mempertahankan struktur industri yang seperti ini. Meskipun profil APBN 2012 sudah sangat ekspansif, tekanan harga ICP yang sudah mendekati 120 USD per barel itu betul-betul mengancam fiskal.

Seberapa pengaruh sih harga minyak mentah itu mempengaruhi defisit anggaran?

Setiap kenaikan 1 USD kenaikan, subsidinya naik Rp2,9 triliun. You bisa bayangkan! Dari harga 103 USD menjadi 122 USD! Berapa banyak subsidi yang mengguncang APBN?

Banyak yang bertanya-tanya, berapa triliun sih kurangnya? Kenapa harus menaikkan BBM? Mengapa tidak menaikkan pendapatan dari sisi pajak? Atau menyesuaikan cukai rokok? Dan mengurangi belanja Kementerian dan Lembaga (KL)?

Persoalannya bukan di situ? Dari sisi fiskal oke, tapi ekonomi bukan fiskal saja. Semua indikator mempertontonkan tanda-tanda pelemahan pada rupiah kita. Seandainya, GDP atau reserve kita tidak sampai 100 miliar dolar, kejadian krisis 2005 bakal terulang. Akan di-attack, market convidence lepas, rupiah berpotensi merambat naik sampai ke digit 12.000 per USD. Kondisi seperti ini persis sama dengan 2005 lalu. Ini yang berbahaya.

Karena itu, kalau APBN biasa-biasa saja, maka ketika ICP tembus di level 90 USD per barel, maka devisit anggaran kita bisa tembus di angka 4 persen. Dan itu melanggar UU. Semua investasi akan berhenti. Investor akan mandek dan berada dalam posisi wait and see.

Subsidi listrik saja masih banyak. Per watt dari geothermal dibeli PLN sebesar 9 sen, lalu dijual ke masyarakat dengan harga bersubsidi. Maka itu juga membebani APBN.

Bagaimana cara menghitungnya? Kok keluar angka Rp 1.500,- per liter?

Yang pasti, itu sudah dihitung secara komprehensif, melewati filter harga keekonomian dan harga politis. Pilihannya memang sangat pahit, kita mencoba untuk tidak mau masuk ke situ, lalu mencari cara lain. Kita diskusi terus, tetapi tidak ada skema yang paling fundamental selain penyesuaian harga. Kita bisa terancam, jika tidak mengambil kebijakan ini.

Orang curiga, BBM itu adanya cuma naik-naik dan naik. Kalau ICP turun, tidak serta merta BBM turun?

Tidak juga! Kita pernah pernah punya pengalaman di tanggal 1 Desember 2008, pemerintah menurunkan BBM dari  Rp 6.000,- menjadi Rp 5.500,-. Lalu tanggal 12 Desember 2008 turun lagi ke posisi Rp 5.000,-. Lalu 15 Januari 2009, turun lagi ke posisi Rp 4.500,- Artinya, kita pernah melakukan itu.

Karena itu, ketika kembali ke angka Rp 6.000,- itu, posisi rupiah akan menguat, struktur APBN menjadi sehat. Dunia pernah menyebut Indonesia sebagai sedikit Negara yang sukses melepaskan diri dari krisis. Policy-nya correct, manajemennya baik, BLT (Bantuan Langsung Tunai) dijadikan model World Bank untuk mengatasi shock di negara-negara tertentu. Jepang dan AS termasuk yang mengadopsi model ini.

Riilnya untuk apa selisih dana itu? Policy lanjutannya seperti apa?

BBM naik itu sangat realistis, rasional, masuk akal, dibandingkan dengan opsi lain yang harus berjalan dalam waktu yang cepat. Kebijakan selanjutnya adalah percepatan pembangunan infrastruktur, sekitar Rp 20 Triliun akan kita gerojok untuk membangun jalan, jembatan, dan semua infrastruktur yang diutamakan di desa-desa di Koridor timur, Koridor 5 dan Koridor 6 dalam MP3EI yang situasinya sudah urgen.

Lalu, Rp30 riliun, sebagai jaring pengaman sosial, dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) kepada 18,5 juta KK, dengan perhitungan 12,3 persen penduduk sedikit di atas miskin, dan 12 persen penduduk miskin bisa tercover. Total dua kategori penduduk itu, 24,3 persen masih tercover oleh 30 persen dari proyeksi BLSM itu. Bahkan masih ada space 5,7 persen.

Apa bedanya BLT dengan BLSM? Beda nama, satu species? Apa bukan pencitraan?

Sama sekali tidak ada kaitannya dengan pencitraan. Sema sekali bukan. Semua sangat realistis. Kalau kebijakan itu tidak kita ambil, defisit kita terlalu besar, dan itu lebih berbahaya buat perekonomian negeri. Yang mendata Menteri Perdagangan, Perindustrian, Menko Perekonomian. Yang menyerahkan BLSM Kementerian Sosial. Bukan lewat partai.

Rencananya berapa lama dan berapa banyak mereka mendapat BLSM-Bantuan Langsung Sementara Masyarakat itu?

Ya, namanya juga sementara, kami memproyeksikan selama 9 bulan. Karena itu, harus diikuti program yang membuka lapangan kerja baru, sehingga mereka bisa survive dan tetap bekerja secara sustainable. Jadi cash foreward itu tetap dalam kerangka untuk menyehatkan masyarakat agar tetap memiliki daya beli, dan di sisi lain, ada program infrastruktur yang padat karya, membutuhkan banyak lapangan pekerjaan, yang juga menyerap tenaga kerja. Dua hal yang simultan.

Bagaimana intervensi pemerintah untuk menjaga inflasi?

Ini yang penting. Kita sudah punya pengalaman dengan krisis yang dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Mau tidak mau, ekspansi pertumbuhan ekonomi kita tahan, anggaran Kementerian dan Lembaga (KL) kita tahan, kalau perlu kita cut dulu. Kita lakukan sharing participation, meskipun itu tidak terlalu besar. Yang bukan belanja modal. Kementerian dan Lembaga dipotong Rp 22 T, kita pindahkan dari governance spanding menjadi belanja publik, belanja masyarakat, atau konsumsi masyarakat. Ada ekspansi yang pindah ke masyarakat.

Tapi bukan belanja modal yang di cut, karena bisa menimbulkan persoalan baru. Dengan proyeksi seperti itu, saya optimis masih bisa mempertahankan pertumbuhan 6,5 % persen. Inflasi antara 6-7 persen. Kuncinya, pada pangan yang harus dikendalikan. Inflasi dimanage dengan baik, Kita tidak ingin yang bersifat administraif. Prizing, atau regulated prize, segala sesuatu yang bersifat PSO dinaikkan PSO-nya, sekitar Rp 5 T. Seperti di KA, PELNI, sehingga tetap inflasi terkendali, daya beli masyarakat tetap terjaga.

Jadi dikembalikan ke publik ya? Dalam bentuk infrastruktur, bantuan langsung sementara masyarakat, dan subsidi sarana transportasi publik?

Iya. Sehingga inflasi tetap terjaga, pertumbuhan ekonomi masih bisa optimis, kemampuan belanja masyarakat juga tidak turun, ekonomi terus running.

Pertanyaannya? Apakah TDL – Tarif Dasar Listrik juga akan dinaikan secara bersama-sama?

Sebenarnya, kalau dilakukan secara keseluruhan bersama-sama, masih masuk dalam range kemampuan. Hanya saja, agar tidak menimbulkan kesan yang berat dan dramatic, TDL akan disesuaikan scecara bertahap. Tidak langsung. Selain itu, struktur mana dulu yang harus dinaikkan, akan diatur. Misalnya perusahaan, yang sudah dalam peak harganya, tidak mungkin menaikkan harga lagi, harus dijaga agar tidak naik. Begitu juga rakyat kecil, kelas bawah, yang daya tahan terhadap guncangan ekonominya lebih besar. Itu pun harus dibagi per tahapan-tahapan. Mungkin ada yang di 2012, ada pula 2013.

Bagaimana dengan buruh dan ketenagakerjaan? Karena naik harga itu pasti akan mengurangi laba perusahaan?

Besar kemungkinan, sekitar bulan Juli 2012, juga akan negosiasi lagi antara serikat pekerja dan industri, untuk penyesuaian upah buruh. Walaupun buruh, petani, nelayan, sesungguhnya sudah tercover dalam skema itu BLSM yang angkanya sekitar Rp 150 ribu per bulan, tambahan dari 30% itu.

Kalau rata-rata, pendapatan buruh itu Rp 1,2 juta. Ini rata-rata, kalau Jabodetabek Rp1,5 juta, di luar kota, masih ada yang Rp 1 juta. Artinya pendapatan per jiwa kira-kira Rp 300 ribu, dengan asumsi upah mereka Rp 1,2 juta, dan satu ayah menanggung satu istri dan dua anak. Nilai itu sudah sedikit di atas garis kemiskinan.

Kalau diberikan Rp 150 ribu per KK, maka tambahan per jiwanya, Rp 35 ribu, dan itu sudah 15 persen di atas garis kemiskinan. Jadi yang 30% BLSM di atas, itu sudah cukup mencover buruh, petani da nelayan. Petani, akan naik HPP-nya menjadi Rp 6.600, maka perolehan mereka pun meningkat.

Apa ada jaminan ICP berhenti di 122 USD per barrel?

Kami berharap tidak naik-naik terus, karena dampaknya langsung terhadap struktur APBN kita. Ketika Strait of Hormuz Iran menegang, AS menyatakan embargo ekonomi, lalu Iran melawan dengan menyetop ekspor Jerman dan Prancism suhu politik meningkat. Survei Rakyat Israel, melalui Televisi Aljazerah menyebutkan 45% rakyat Israel ingin agar Iran diserang. 

Itu sudah naik, dari sebelumnya yang hanya 35 persen, terus terung kami ngeri mendengarnya. Tapi 55% bilang jangan, tidak boleh menyerang, maka suasana mengendor lagi. Ini potensi, bahwa minyak harganya tidak sekedar ditentukan lagi oleh suplay and demand, tapi juga persepsi pasar terhadap geopolitik. (jpnn/niz)
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Lampung NewsPaper - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website
Proudly powered by Blogger